Pusuk Buhit dan 'Nabi' Raja Uti

Pusuk Buhit, gunung keramat bagi orang Batak, bukan cuma bernilai sejarah, melainkan juga rohaniah. Kita tak perlu berlebihan mengultuskan kemistikannya, tapi jangan pula kita enggan mengakui kehadirannya.

Daya mistis Pusuk Buhit, gunung keramat di Kabupaten Samosir dengan ketinggian kira-kira 1.900 meter di atas permukaan laut, telah melegenda ke seantero dunia. Konon di kaki gunung inilah, tepatnya di Parik Sabungan, Desa Sariman Rihit, Kecamatan Sianjur Mulamula, orang Batak pertama berkampung dan beranak pinak.

Dipercayai, di puncak Pusuk Buhit-lah cucu paling tua Si Raja Batak, Raja Uti, dikembalikan oleh orang tuanya, Guru Tatea Bulan, kepada Mulajadi Nabolon. Raja Uti, yang tubuhnya tak bertulang ketika kecil, muncul beratus tahun kemudian dengan kesaktiannya. Kini, melalui penguasa puncak Pusuk Buhit itu para peziarah memanjatkan doa kepada Mulajadi Nabolon, Sang Pencipta.

Sudah bukan rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk politikus parlemen dan pejabat pemerintah, menaiki puncak Gunung Pusuk Buhit dan menyembah Mulajadi Nabolon. Antara lain, kata anggota DPRD Kabupaten Samosir Tuaman Sagala kepada Koran Toba, "Mantan Gubernur Syamsul Arifin, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih bersama istrinya yang orang Jepang itu sudah beberapa kali ke sana, Akbar Tandjung." Rekan sejawat Tuaman di DPRD Samosir, Jonni Sihotang, terang-terangan mengakui rajin berdoa di puncak Pusuk Buhit, dan permintaannya selalu terkabul.

Penganut agama-agama mutakhir, khususnya agama langit seperti Kristen dan Islam, mungkin akan sangat sulit menerima keberadaan Mulajadi Nabolon dan "nabi"-Nya di Tanah Batak, Raja Uti. Namun, sebaliknya, pemeluk agama bumi seperti Hindu, Taoisme, Zoroasterisme, dan Parmalim tampaknya akan lebih mudah "mengamininya", karena religi-religi tersebut lebih terbuka menakrifkan sosok Sang Khalik.

Koran Toba dengan paham "kebenaran itu relatif", seperti termuat dalam edisi perdana, dan dengan pikiran terbuka menyajikan liputan khusus Pusuk Buhit ini ke tangan anda, pembaca yang budiman. Kami menorehkan wawancara dan hasil pandangan mata, juga rasa.

Edisi Pusuk Buhit kami kerjakan setelah menapaki Gunung Pusuk Buhit pada 17 Februari 2013. Kami tiba di puncak tertingginya dan bermalam di sana. Tiga kru Koran Toba—Hayun Gultom, Abidan Simbolon, dan saya sendiri—bersama aktivis LSM Dian P. Sinaga juga menuliskan catatan-catatan pribadi dalam edisi ini.

Hayun Gultom menulis berita tentang pengalaman Wakil Bupati Aceh Tenggara, Haji Ali Basrah Pasaribu, yang berdoa di puncak Pusuk Buhit sebelum mengikuti pilkada dan ketika ia hendak mencari tahu kampung kakeknya di Tanah Batak. Ada juga tulisan saya mengenai riwayat Raja Uti, "Sang Nabi Batak" yang bersinggasana di puncak gunung keramat Pusuk Buhit. Foto-foto Pusuk Buhit dan situs-situsnya disertakan di halaman berwarna.

Semuanya kami suguhkan kepada pembaca Koran Toba dengan satu niat: agar kita orang Batak Toba, teristimewa penduduk Kabupaten Samosir, tidak abai akan, apalagi melenyapkan, sejarah diri kita sendiri yang bermula dari Sianjur Mulamula.

sumber : Redaksi Koran Toba 

No comments:

Post a Comment